Pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), membawa dampak signifikan bagi perekonomian kawasan Asia. Kebijakan ini memberi bank-bank sentral di Asia lebih banyak kebebasan untuk melonggarkan kebijakan moneter mereka, terutama dalam konteks tantangan ekonomi yang dihadapi. Setelah pemangkasan suku bunga sebesar 0,25 basis poin, suku bunga acuan The Fed kini berada di rentang 4%-4,25% dan ini menjadi sorotan para ekonom di seluruh dunia.
Ketua The Fed, Jerome Powell, menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari manajemen risiko yang bertujuan untuk mendukung ekonomi yang sedang lesu. Pertumbuhan yang lambat dan tingginya angka pengangguran menjadi alasan utama di balik kebijakan ini, di mana Powell bahkan menyatakan kemungkinan adanya dua kali pemangkasan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat.
Asia saat ini berada dalam situasi yang kurang menguntungkan, dengan hambatan perdagangan dan tekanan pada nilai tukar. Langkah yang diambil oleh The Fed diharapkan dapat memperkecil perbedaan imbal hasil obligasi antara AS dan Asia, yang pada gilirannya dapat meredakan kecemasan terkait mata uang dan memberikan kesempatan pada negara-negara Asia untuk menurunkan suku bunga.
Bagaimana Pengaruh Kebijakan The Fed Terhadap Negara-Negara Asia
Pakar ekonomi Asia dari Fidelity International, Peiqian Liu, menyatakan bahwa secara keseluruhan, kebijakan moneter di Asia kemungkinan akan menjadi lebih akomodatif. Sebelumnya, beberapa bank sentral di kawasan telah mengambil langkah-langkah pre-emptive dalam merespons kebijakan perdagangan AS dan dampaknya terhadap perekonomian domestik.
Contohnya, Bank of Korea (BOK) baru-baru ini memangkas suku bunga acuannya ke level terendah hampir tiga tahun. Di sisi lain, bank sentral India (RBI) juga mengurangi suku bunga 50 basis poin, yang menunjukkan sinyal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan yang ada.
Namun, perlu dicatat bahwa setiap negara memiliki kondisi ekonomi yang berbeda-beda, yang menciptakan perbedaan dalam respons kebijakan. Liu menambahkan bahwa inflasi domestik dan dampak ekspor menjadi faktor yang menentukan dalam keputusan pemotongan suku bunga di negara-negara Asia.
Tantangan Ekonomi yang Dihadapi Negara-Negara di Asia
Kepala Ekonom di Oxford Economics, Betty Wang, menegaskan bahwa kekhawatiran tentang depresiasi mata uang terlalu berlebihan. Menurutnya, pelemahan dolar AS justru memberi peluang tambahan bagi bank sentral di Asia untuk melonggarkan kebijakan mereka dalam waktu dekat, terutama menghadapi kekhawatiran pertumbuhan yang meningkat.
Ahli strategi pasar senior Asia Pasifik di BNP Paribas Asset Management, Chi Lo, menunjukkan bahwa suku bunga riil di sebagian besar negara Asia masih lebih tinggi dari rata-rata historis. Dalam konteks ini, bank sentral dapat mengambil langkah untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, dengan India menjadi pengecualian utama.
India telah melihat pertumbuhan ekonomi yang kuat, yang dipicu oleh permintaan domestik. Namun, dengan meningkatnya tantangan dari permintaan eksternal dan tarif AS yang lebih tinggi, India mungkin harus memprioritaskan pertumbuhan domestiknya melalui pelonggaran kebijakan yang lebih luas.
Perbedaan Sikap Kebijakan di Negara-Negara Besar Asia
Sementara sebagian besar negara di Asia tampak beradaptasi dengan perubahan kebijakan suku bunga ini, dua negara besar seperti China dan Jepang memperlihatkan sikap yang berbeda. Jepang, misalnya, mempertahankan suku bunganya dan bahkan berencana untuk meningkatkannya seiring dengan upaya normalisasi kebijakan moneternya, mengingat inflasi yang telah melampaui target selama beberapa tahun terakhir.
Begitu pula dengan bank sentral China, PBOC, yang memilih untuk mempertahankan suku bunga jangka pendek meskipun ada pemangkasan suku bunga dari The Fed. Keputusan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan stimulus dan kekhawatiran tentang kemungkinan gelembung di pasar saham yang bisa menciptakan masalah baru.
Perekonomian China sendiri menghadapi perlambatan, dengan penurunan ekspektasi terhadap pertumbuhan ekspor dan data ekonomi yang lebih lemah dari yang diperkirakan. Namun, beberapa ekonom percaya bahwa yuan mungkin tetap kuat, tidak hanya sebagai respons terhadap faktor eksternal tetapi juga sebagai langkah untuk melindungi perekonomian domestik dari kemungkinan depresiasi yang lebih besar.
Dalam konteks ini, perhatian terhadap kebijakan moneter di China akan terus menjadi fokus, terutama mengingat tantangan ekonomi yang mungkin dihadapi dalam jangka waktu mendatang.