Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia kembali mengusulkan pengampunan bagi pelanggar pajak melalui mekanisme Tax Amnesty Jilid III. Ini menunjukkan ketekunan DPR dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah kepatuhan pajak di tanah air, meskipun upaya sebelumnya menuai kritik.
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Namun, hingga saat ini, hasil dari inisiatif tersebut masih belum terlihat jelas dan justru berlanjut ke Prolegnas Prioritas 2026.
Tindakan ini menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Menteri Keuangan, yang dengan tegas menolak ide tersebut. Menurutnya, kebijakan pengampunan pajak ini dapat memberikan sinyal yang salah kepada para wajib pajak di seluruh Indonesia.
Keberatan Menteri Keuangan Terhadap Pengampunan Pajak
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai, Tax Amnesty Jilid III justru akan menciptakan persepsi buruk tentang kepatuhan pajak di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan pelanggaran pajak yang lebih besar, dengan harapan pengampunan seperti ini akan terus berulang di masa mendatang.
Dalam pandangannya, jika pengampunan pajak terus dilakukan dalam kurun waktu tertentu, maka wajib pajak akan merasa diizinkan untuk menghindari pajak. “Pesannya adalah ‘Kibulin saja pajaknya, nanti kita tunggu di Tax Amnesty’,” jelasnya dalam sebuah konferensi pers.
Kebijakan pengampunan pajak sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Sejak tahun 2016-2017, pemerintah sudah melaksanakan amnesti pajak yang diikuti oleh hampir satu juta wajib pajak dengan total nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun.
Dampak Sosial Ekonomi dari Tax Amnesty
Pengampunan pajak pertama berhasil mengumpulkan uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun, namun banyak yang meragukan efektivitas jangka panjang dari kebijakan tersebut. Setelah pelaksanaan amnesti pajak, pemerintah malah meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang hanya memuaskan pencarian solusi jangka pendek.
“Dampak yang dihasilkan tidak signifikan dalam memperbaiki rasio pajak secara struktural,” kata berbagai pakar. Menurut mereka, kondisi tersebut hanya memperburuk persepsi ketidakadilan di kalangan wajib pajak yang patuh.
Dengan setiap pelaksanaan Program Amnesti Pajak, wacana di masyarakat menjadi semakin kuat bahwa kepatuhan pajak bukan lagi suatu keharusan. Hal ini menyebabkan ketidakadilan dan dampak sosial yang lebih luas bagi perekonomian nasional yang bergantung pada pendapatan pajak.
Impak Negatif Akibat Kebijakan Tax Amnesty yang Berulang
Menyikapi hal tersebut, Direktur Eksekutif sebuah institusi riset pajak menegaskan bahwa seringnya amnesti pajak justru membuat wajib pajak merasa tidak perlu untuk mematuhi aturan. Di sisi lain, mereka yang menaati peraturan akan merasa dirugikan, karena harus membayar pajak dengan tarif penuh.
Studi menunjukkan bahwa di banyak negara, semakin sering diadakannya pengampunan pajak, maka tingkat kepatuhan pajak akan semakin menurun. Hal ini berpotensi menciptakan lingkaran setan dalam kepatuhan pajak yang sulit diputus.
Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan untuk mengubah pendekatannya dalam pengelolaan pajak. Membangun kepercayaan di antara wajib pajak dengan cara memperbaiki sistem layanan pajak adalah langkah yang perlu diambil untuk menciptakan kepatuhan sukarela.
Pentingnya Reformasi Struktur Pajak untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Pakar pajak menyarankan bahwa agar kebijakan pajak lebih efektif, perlu ada reformasi struktural dalam sistem pajak itu sendiri. Membangun sistem yang adil dan transparan dengan keadilan di dalam pengenaan pajak adalah hal yang mutlak diperlukan saat ini.
Salah satu usulan adalah meningkatkan kualitas layanan dari Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Proses administrasi yang sederhana dan jelas dapat mempermudah wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya.
Kepatuhan pajak tidak seharusnya diperoleh melalui tindakan pemaksaan tetapi harus berdasarkan kesadaran dan kepercayaan. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih aktif dalam memberikan pelayanan yang baik dan membangun dialog konstruktif dengan semua pihak terkait.