Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Pati, Jawa Tengah hingga 250 persen telah memicu reaksi yang sangat kuat dari masyarakat. Situasi ini mengakibatkan Bupati Pati, Sudewo, menghadapi potensi pemakzulan akibat penolakan yang berkepanjangan dari warga. Meskipun Sudewo telah membatalkan kenaikan PBB dan meminta maaf, protes di Pati terus berlangsung, termasuk peristiwa ketika ia dilempari sandal dan botol saat berinteraksi dengan warganya.
Penolakan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kenaikan pajak yang dinilai tidak wajar. Hal ini pun menimbulkan perdebatan panas mengenai tanggung jawab pemerintah daerah dalam menentukan besaran pajak. Memahami latar belakang situasi ini menjadi penting agar kita bisa menilai dampaknya terhadap masyarakat.
Aturan mengenai besaran PBB sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, yang dipengaruhi oleh kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dalam konteks Pati, NJOP diklaim tidak mengalami kenaikan selama 14 tahun terakhir, kondisi ini diakui oleh bupati sebagai hal yang perlu diperbaiki secepatnya.
Pemerintah Daerah dan Tanggung Jawab Terhadap Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan baik oleh individu maupun badan. Penetapan pajak ini diatur dalam Undang-Undang yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Meskipun demikian, kebijakan penyusunan NJOP tetap berada di tangan masing-masing kepala daerah.
Definisi NJOP sebagai harga rata-rata dari transaksi jual beli yang wajar menjadi pijakan dalam penentuan pajak. Jika tidak ada transaksi jual beli yang terjadi, penetapan NJOP diukur berdasarkan perbandingan harga objek serupa atau nilai perolehan baru. Dengan demikian, besaran NJOP sangat mempengaruhi nilai pajak yang dibebankan kepada masyarakat.
Dalam Pasal 40 dari undang-undang tersebut, jelas dinyatakan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP yang ditetapkan oleh kepala daerah. Hal ini menuntut bupati untuk secara berkala meninjau dan memperbarui nilai pajak agar sesuai dengan perkembangan kondisi pasar dan wilayah.
Proses Kenaikan PBB dan Respons Masyarakat
Bupati Pati, Sudewo, menyatakan bahwa Peraturan Bupati terkait kenaikan NJOP adalah hasil musyawarah dengan kepala desa dan tokoh masyarakat. Proses ini juga dilakukan untuk mengatasi stagnasi ekonomi daerah akibat rendahnya pendapatan asli daerah (PAD). Ia menegaskan bahwa kenaikan tersebut tidak berlaku secara merata, melainkan berdasarkan kualifikasi penyesuaian NJOP yang ditetapkan.
Dalam penjelasannya, Sudewo mengungkapkan bahwa kenaikan PBB yang signifikan dialami oleh penguasaan tanah dan bangunan tertentu. Ia menyatakan bahwa sebagian besar wajib pajak tidak akan mengalami kenaikan PBB di atas 100 persen. Ini menunjukkan bahwa upaya penyesuaian yang dilakukan pemerintah daerah berfokus pada keadilan distribusi pajak.
Namun, masyarakat tetap merasa keberatan dan mempertanyakan kewajaran dari kenaikan pajak yang drastis ini. Reaksi yang terjadi menunjukkan adanya ketidakpuasan yang mendalam, bahkan menimbulkan potensi pemakzulan terhadap Bupati. Lahirlah pertanyaan besar mengenai efektivitas dan keadilan dalam sistem perpajakan di daerah.
Dinamika Kebijakan Perpajakan di Pati
Dalam menghadapi situasi ini, Sudewo juga mengaku bahwa keuangan daerah mengalami kesulitan besar. Ia mencatat bahwa PAD Pati berkontribusi hanya 14 persen terhadap total APBD, sementara belanja pegawai sudah mencapai 47 persen. Hal ini menambah tekanan terhadap pemerintah daerah untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi demi kelanjutan program pembangunan.
Revisi Peraturan Bupati Nomor 17 Tahun 2025 kepada Peraturan Bupati sebelumnya menjadi salah satu langkah untuk menangani isu ini. Dengan adanya revisi ini, Sudewo berharap beban pajak yang sangat tinggi dapat diuraikan dan disampaikan secara lebih transparan kepada masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, situasi di Pati juga dapat mencerminkan tantangan berbasis fiskal yang dihadapi oleh banyak daerah lain. Hal ini membuka diskusi mengenai kebutuhan untuk reformasi sistem perpajakan demi mencapai keseimbangan antara kebutuhan pendanaan pemerintah dan hak-hak warga untuk mendapatkan pelayanan yang adil.