Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah 1.455 tahun yang lalu, tetapi perjalanan hidupnya dimulai dengan kisah yang unik. Beliau tidak disusui langsung oleh ibunya, Aminah binti Wahab, melainkan oleh seorang perempuan dari pedalaman bernama Halimah as-Sa’diyah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Halimah memberikan perawatan yang sangat baik, menyusui dan membesarkan Nabi Muhammad hingga usia lima tahun, sebelum akhirnya menyerahkannya kembali kepada ibunya. Keputusan untuk tidak menyusui langsung oleh sang ibu memiliki konteks yang mendalam, yang sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kondisi sosial saat itu.
Tradisi ini dikenal dengan istilah murdhi’at, atau ibu susu, yang merupakan praktik umum di kalangan keluarga terpandang di Makkah. Memahami alasan dibalik fenomena ini memerlukan penelusuran mendalam mengenai kehidupan masyarakat Arab pada abad ke-6.
Pentingnya Memahami Tradisi Murdhi’at di Makkah Abad ke-6
Di lingkungan keluarga Quraisy, menitipkan bayi kepada para murdhi’at adalah hal yang wajar. Ibu susu ini biasanya berasal dari daerah pedalaman yang jauh dari hiruk-pikuk kota Makkah, di mana mereka dianggap memiliki kondisi yang lebih sehat bagi bayi-bayi yang baru lahir.
Salah satu alasan utama praktik ini adalah faktor kesehatan. Makkah pada waktu itu menghadapi wabah cacar, sehingga banyak orang tua merasa khawatir untuk menyusui bayi mereka di kota yang terpapar penyakit. Memindahkan bayi ke pedesaan menjadi pilihan yang bijak untuk menjaga kesehatan si kecil.
Selain itu, faktor sosial yang lebih kompleks juga berfungsi sebagai penggerak tradisi ini. Dalam budaya masyarakat Quraisy, perempuan sering kali diharapkan untuk melahirkan banyak anak, terutama anak laki-laki. Dengan menyerahkan bayi kepada ibu susu, para wanita dapat memastikan bahwa mereka tetap memenuhi tuntutan sosial ini.
Dari perspektif ini, menyusui juga dianggap dapat mempengaruhi kesuburan seorang wanita. Jika seorang ibu menyusui anaknya, kemungkinan dia untuk hamil kembali menjadi kecil. Oleh karena itu, banyak perempuan memilih untuk mengalihkan tugas menyusui kepada para murdhi’at, sehingga mereka bisa lebih cepat hamil lagi.
Dengan metode ini, mereka diharapkan bisa memenuhi harapan untuk memiliki banyak keturunan tanpa harus mengorbankan kesehatan dan kehamilan. Hal ini menunjukkan dinamika kompleks dalam hubungan sosial dan peran gender di masyarakat Arab pada waktu itu.
Hubungan Antara Kesehatan dan Tradisi Menyusui di Makkah
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah kepentingan kesehatan bayi. Pada masa itu, lingkungan di Makkah tidak terlalu aman bagi bayi-bayi yang baru lahir. Bayi sangat rentan terhadap penyakit, sehingga memindahkan mereka ke daerah pedesaan menjadi langkah cerdas untuk melindungi mereka dari infeksi yang berbahaya.
Pedesaan dapat menawarkan udara yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih aman bagi pertumbuhan bayi. Dengan tradisi ini, banyak bayi merasa lebih kuat dan sehat, terutama bayi-bayi yang berada di bawah perawatan ibu susu. Ini adalah salah satu alasan kuat mengapa Nabi Muhammad juga mengikuti tradisi ini.
Seiring waktu, kebiasaan ini terus berlanjut, menghasilkan generasi yang sehat selanjutnya. dalam hal ini, peran para murdhi’at tidak dapat dianggap remeh, karena mereka bukan hanya sekadar penyusui, tetapi juga memainkan peran penting dalam mendidik dan mengasuh anak-anak.
Melalui perawatan mereka, banyak anak dapat merasakan kasih sayang dan kehangatan keluarga meskipun jauh dari ibu kandungnya. Ini menunjukkan bahwa tradisi menyusui bukan hanya tentang menyediakan makanan, tetapi juga tentang membangun ikatan emosional antara anak-anak dengan perawatan mereka.
Dalam konteks ini, Halimah as-Sa’diyah tidak hanya berfungsi sebagai ibu susu untuk Nabi Muhammad, tetapi juga sebagai sosok yang membentuk karakter dan kepribadian beliau di masa kecilnya.
Signifikansi Budaya dan Sosial di Balik Praktik Menyusui
Di balik tradisi murdhi’at, terdapat nilai-nilai budaya dan sosial yang dalam di masyarakat Quraisy. Budaya patriarki yang mengedepankan kepentingan untuk memperbanyak keturunan ikut memengaruhi tradisi ini. Dalam konteks ini, menyusui oleh ibu susu melambangkan cara untuk menjaga harmoni dan keseimbangan dalam struktur sosial.
Selain itu, ada aspek ekonomi yang juga terlibat. Banyak ibu susu berasal dari kalangan keluarga miskin di pedesaan yang mencari nafkah dengan menyusui anak-anak dari keluarga kaya. Oleh karena itu, tradisi ini menciptakan simbiosis yang saling menguntungkan bagi kedua pihak.
Para ibu susu mendapatkan bayaran dan keberlangsungan hidup dari tugas mereka, sementara bayi-bayi dari keluarga kaya mendapatkan perawatan terbaik di lingkungan yang relatif lebih aman. Ini membuktikan bahwa tradisi murdhi’at juga berfungsi untuk menjaga kesejahteraan sosial di masyarakat.
Ketika kita merenungkan semua aspek ini, kita dapat melihat bagaimana praktik menyusui oleh ibu susu bukan hanya menjadi langkah praktis dalam menjaga kesehatan, tetapi juga menyerat nilai-nilai sosial dan budaya yang kompleks. Dengan demikian, kita dapat memahami lebih dalam bagaimana Nabi Muhammad tumbuh dan berkembang dalam konteks masyarakatnya.
Akhirnya, keputusan untuk tidak menyusui langsung oleh ibunya, Aminah, bukanlah sesuatu yang sembarangan. Ini mencerminkan tradisi dan norma sosial yang ada di masyarakat Arab pada saat itu, yang dengan sendirinya menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya mereka pada masa itu.