Center of Economic and Law Studies (CELIOS) baru-baru ini mengajukan permintaan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan audit terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025. Penilaian ini muncul karena menurut CELIOS, data tersebut tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya di lapangan.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menekankan pentingnya transparansi dalam pengumpulan data oleh BPS agar terhindar dari kepentingan politik. Ia menyatakan bahwa BPS harus menjaga integritas dan akurasi data yang mereka publikasikan, karena hal ini berpengaruh langsung terhadap kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah.
“Surat yang dikirimkan ke PBB menyatakan permohonan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi yang diumumkan oleh BPS,” kata Bhima dalam siaran pers beberapa waktu lalu. Ia menegaskan bahwa persoalan ini harus segera ditangani untuk menjaga kredibilitas data ekonomi Indonesia di mata internasional.
Analisis Terhadap Data Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan informasi terbaru, CELIOS menginginkan BPS untuk merevisi laporan mereka terkait pertumbuhan sektor industri, terutama di kuartal yang dilaporkan. Bhima mengkaji bahwa klaim BPS mengenai pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,68 persen tidak konsisten dengan indikator yang ada, di mana Purchasing Managers’ Index (PMI) menunjukkan kontraksi.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa proporsi sektor manufaktur terhadap PDB justru menunjukkan penurunan, dari 19,25 persen di kuartal I 2025 menjadi hanya 18,67 persen di kuartal II. Hal ini menunjukkan adanya ancaman bagi industri manufaktur yang terpaksa berkurang, meski BPS melaporkan pertumbuhan yang optimis.
Nyatanya, tekanan yang dihadapi industri padat karya semakin meningkat. Tercatat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan, sehingga memunculkan pertanyaan: Apa dasar dari prediksi BPS bahwa sektor industri dapat tumbuh dalam situasi yang menyusut?
Kejanggalan Dalam Data BPS: Apa yang Salah?
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, turut mengungkapkan keanehan dalam laporan BPS, di mana pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 lebih tinggi dari kuartal I, meski di kuartal I terdapat perayaan Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya menghasilkan peningkatan kegiatan ekonomi. Menurutnya, fenomena ini menciptakan ketidakpastian dalam data yang disajikan.
Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 tercatat hanya 4,87 persen. Dalam konteks historis, biasanya pertumbuhan ekonomi di bulan Ramadan dan Idul Fitri menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun, hasil yang dipublikasikan BPS justru menunjukkan kekecualian dari pola ini.
Pakar kebijakan fiskal CELIOS, Media Wahyu Askar, menekankan bahwa intervensi institusional dalam pengumpulan data oleh BPS bertentangan dengan prinsip dasar statistik resmi. Sebuah data yang kredibel tidak hanya relevan secara teknis, tetapi juga berdampak pada citra Indonesia di kancah internasional dan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya Akurasi Data Ekonomi dan Dampaknya
Media menekankan bahwa kesalahan dalam laporan pertumbuhan ekonomi bisa menyesatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan, seperti penentuan stimulus ekonomi atau subsidi sosial. Masyarakat dan pelaku usaha bisa salah memahami keadaan ekonomi, yang berpotensi menyebabkan dampak negatif terhadap berbagai sektor.
Bayangkan efek domino yang ditimbulkan ketika pemerintah mengabaikan realitas ekonomi dan menunda stimulus yang diperlukan. Pelaku usaha, termasuk UMKM, akan sangat merasakan dampak dari ketidakpastian yang ditimbulkan oleh data yang tidak akurat ini.
Maka dari itu, Media meminta agar dilakukan pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan para pakar independen dalam proses penghitungan dan pelaporan data. Reformasi transparansi di dalam BPS juga menjadi langkah yang penting untuk menciptakan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan.
Proyeksi Masa Depan Ekonomi Indonesia
Pada tanggal 5 Agustus lalu, BPS melaporkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12 persen secara tahunan pada kuartal II 2025. Ini terjadi karena besaran PDB atas harga berlaku mencapai Rp5.947 triliun dan PDB berdasarkan harga konstan sebesar Rp3.396,3 triliun. Namun, pencapaian ini menuai kritik karena dianggap terlalu optimis.
Jika dibandingkan dengan kuartal II 2024, pertumbuhan hanya tercatat 5,05 persen. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada pertumbuhan, percepatan yang dilaporkan BPS patut dicurigai. PDB pada kuartal tersebut mencatatkan Rp5.536,5 triliun dan Rp3.231,0 triliun berdasarkan harga konstan.
Selain itu, BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi sebanyak 4,04 persen secara kuartalan, sementara total semester I 2025 menunjukkan angka sebesar 4,99 persen. Angka-angka ini tidak sejalan dengan berbagai indikasi krisis yang dihadapi berbagai sektor ekonomi di Indonesia.