Ratusan atlet perempuan dari berbagai usia berkumpul di Kyoto untuk mengikuti Kejuaraan Sumo Perempuan All Japan, sebuah acara yang semakin populer namun masih berada di luar ruang lingkup “Grand Sumo,” kompetisi resmi yang menghalangi perempuan untuk naik ke arena suci dohyo. Meskipun minat terhadap olahraga ini meningkat pesat, struktur profesional untuk pegulat perempuan masih jauh dari harapan, menyebabkan banyak atlet muda memutuskan untuk berhenti setelah menyelesaikan pendidikan mereka.
Tradisi melarang perempuan memasuki dohyo memiliki akar sejarah yang mendalam, menganggap perempuan sebagai unsur yang “polluting” (pencemar) dalam ritual. Keyakinan ini telah berkembang sejak era Edo pada abad ke-17, saat Grand Sumo mulai dibangun. Kendati saat ini sekitar 1.000 perempuan terlibat dalam latihan sumo di seluruh Jepang, peluang mereka untuk bersinar di tingkat profesional terasa tertutup karena regulasi yang tidak berubah.
Pergeseran untuk kesetaraan gender menjadi isu yang lebih luas, di mana Jepang meraih peringkat 118 dari total 148 negara dalam Indeks Kesenjangan Gender Forum Ekonomi Dunia, lebih rendah dari Bahrain dan hanya sedikit lebih baik dibandingkan Arab Saudi. Dalam banyak sektor, perempuan pernah dilarang melakukan aktivitas tertentu, seperti memasuki terowongan konstruksi atau mendaki gunung-gunung terlarang yang dianggap tidak pantas.
Perdebatan Tentang Tradisi dan Modernisasi dalam Sumo Perempuan
Figur Takaichi Sanae, yang terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang, memberikan sedikit harapan akan adanya perubahan. Dalam tradisi Grand Sumo, seorang perdana menteri memiliki tugas untuk menyerahkan piala kepada sang juara, yang biasanya mengharuskan mereka untuk naik ke dohyo. Jika Takaichi melakukannya, maka tabu yang telah ada selama ratusan tahun bisa jadi akan pecah.
Namun, harapan tersebut tampaknya tipis. Asosiasi Sumo Jepang secara eksplisit menyatakan keinginan mereka untuk mempertahankan kekhasan budaya dan tradisi yang ada. Takaichi dikenal sebagai seorang politisi konservatif yang sering menentang reformasi gender, termasuk perubahan mengenai pemisahan nama keluarga setelah menikah serta mengizinkan perempuan untuk naik tahta dalam Kekaisaran Jepang.
Di tengah kekakuan inilah, para atlet muda yang hadir di arena Kyoto memiliki pandangan optimis tentang masa depan mereka. Mereka percaya bahwa meskipun jalan menuju perubahan tampak terjal, popularitas sumo perempuan dapat menjadi motor penggerak untuk transformasi yang lebih besar dalam dunia olahraga ini.
Peluang dan Tantangan yang Dihadapi Atlet Perempuan dalam Sumo
Saat ini, meskipun banyak atlet perempuan yang menunjukkan bakat dan dedikasi, terbatasnya akses ke kompetisi profesional sering kali menjadi penghalang utama. Banyak dari mereka yang berlatih sangat keras, tetapi ketika saatnya tiba untuk masuk ke fase profesional, sebagian besar dari mereka terpaksa menghentikan karier atletik mereka. Keberadaan liga profesional yang layak menjadi harapan yang belum terwujud.
Proses untuk menciptakan struktur yang memungkinkan perempuan bersaing secara profesional dalam sumo sangat kompleks. Rosaknya tradisi yang sudah terjalin lama dan kultus yang mengelilingi Grand Sumo membuat setiap upaya untuk melakukan perubahan terasa menantang. Namun, keinginan para atlet untuk terus berlatih dan mensosialisasikan olahraga mereka dapat membantu meningkatkan kesadaran akan potensi sumo perempuan.
Bermunculannya berbagai acara dan kompetisi sumo perempuan di dalam dan luar Jepang menunjukkan adanya minat yang kuat dari masyarakat. Hal ini memberikan harapan bahwa sumo perempuan akan mendapatkan pengakuan yang lebih baik di masa depan. Dengan meningkatnya perhatian terhadap masalah kesetaraan gender, ada kemungkinan bahwa dukungan terhadap atlet perempuan dalam sumo akan semakin meningkat.
Harapan untuk Perubahan di Masa Depan
Di balik tantangan yang ada, banyak atlet muda tetap optimis tentang masa depan mereka. Mereka percaya bahwa dengan konsistensi dan tekad, olahraga ini bisa mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat Jepang. Yakin akan peran penting mereka dalam membawa perubahan, para pegulat perempuan ini terus berjuang meski banyak batu terjal di depan mereka.
Kedewasaan dan keberanian mereka dalam menghadapi stigma hanya menunjukkan besarnya semangat yang dimilikinya. Dengan kerja keras dan dukungan dari generasi muda, masa depan sumo perempuan bisa lebih cerah. Aspirasi untuk membawa sumo perempuan ke panggung depan menjadi satu langkah kecil yang menuju perubahan besar.
Keterlibatan perempuan dalam olahraga ini bukan hanya tentang kompetisi. Ini lebih kepada upaya melawan stereotip dan batasan yang mengikat perempuan dalam peran yang lebih konvensional. Banyak yang berharap bahwa perubahan akan segera mengikuti keberhasilan atlet perempuan ini, memberikan ruang untuk perempuan bersinar dalam dunia sumo.
















